Istilah Bolar Provision mungkin terdengar asing ditelinga kita terutama di kalangan Apoteker. Saya pribadi baru mendengar istilah Bolar Provision ini saat mendaftarkan obat yang ternyata masih dilindungi paten. Ketika berkonsultasi dengan Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) saya baru mengetahui ada istilah Bolar Provision dan ini diatur dalam undang-undang. Lalu apa itu Bolar Provision? Sebelum membahas apa itu Bolar Provision, kita bahas dulu sejarah munculnya Bolar Provision.
Sejarah Bolar Provision (Roche Products, Inc. vs Bolar Pharmaceutical Co., Inc.)
Pada awalnya saya mengira jika
Bolar ini merupakan istilah hukum saja hingga pada suatu waktu saya mendapat
kesempatan untuk mengikuti training mengenai paten obat dan baru mengetahui
bahwa Bolar disini adalah nama perusahaan farmasi. Berikut saya coba merangkum
sejarah singkat mengenai Bolar Provision berdasarkan pengalaman saya ketika
mengikuti training dan beberapa literatur di internet.
Roche Products, Inc. (Roche)
memiliki paten yang berjudul “Novel 1 and/or 4-substituted alkyl
5-aromatic-3H-1,4-benzodiazepines and benzodiazepine-2-ones” yang berakhir
masa perlindungan patennya pada 17 Januari 1984. Obat tersebut adalah
Flurazepam HCl yang diberi nama brand “Dalmane” oleh Roche. Pada awal tahun
1983, Bolar Pharmaceutical Co., Inc. (Bolar) mulai tertarik untuk memasarkan
produk generik yang ekuivalen dengan Dalmane setelah masa perlindungan paten
berakhir. Seperti yang kita ketahui bahwa proses pengembangan obat copy (obat
generik) sekalipun memerlukan waktu yang tidak sebentar, terutama untuk proses
registrasi dan pemenuhan persyaratan registrasi seperti data stabilitas, data
disolusi, hingga uji bioekivalensi. Perusahaan farmasi berlomba-lomba untuk
dapat memasarkan obat copy, setelah paten berakhir, tidak terkecuali Bolar
Pharmaceuticals, karena semakin cepat obat copy tersebut ada di pasaran dengan
harga yang lebih murah dibandingkan inovatornya tentu akan lebih mudah untuk
memasuki persaingan pasar.
Pada pertengahan tahun 1983,
Bolar memulai pengembangan obat copy Flurazepam HCl, tanpa menunggu
perlindungan paten milik Roche berakhir. Mengetahui hal tersebut, Roche
kemudian menggugat Bolar. Bolar berargumen bahwa hal ini mereka lakukan untuk
menjamin keterjangkauan obat bagi masyarakat. Apabila pengembangan obat generik
baru dimulai setelah masa perlindungan paten berakhir, waktu yang dibutuhkan
untuk proses pengembangan hingga registrasi untuk mendapat persetujuan izin
edar akan menyebabkan masyarakat tidak dapat menjangkau obat generik segera
setelah masa perlindungan paten berakhir dan ini secara tidak langsung membuat
seolah-olah hak eksklusif paten lebih lama.
Akhirnya keputusan pengadilan memperbolehkan
pengembangan obat generik dari obat yang masih dalam perlindungan paten dengan
tujuan untuk memperoleh persetujuan dari FDA dan obat generik hanya boleh
dipasarkan setelah masa perlindungan paten berakhir. Sejak saat itu istilah
Bolar Provision mulai dikenal dan diadopsi oleh berbagai negara untuk mengatur
tentang paten obat, termasuk di Indonesia.
Bolar Provision di Indonesia
Pengembangan obat baru di
Indonesia masih minim, kebanyakan perusahaan farmasi di Indonesia mengembangkan
obat generik atau obat copy. Hal ini tentu menyebabkan keterjangkauan obat di
Indonesia menjadi sulit dicapai apabila peraturan terkait paten obat ini tidak
diberikan kebijakan khusus.
Pengembangan obat yang masih
dalam perlindungan paten di Indonesia sepanjang pengetahuan saya diatur dalam
Undang-undang No. 13 Tahun 2016 tentang Paten, Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 1010/MENKES/PER/XI/2008 tentang Registrasi Obat dan
Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor 24
Tahun 2017 tentang Kriteria dan Tata Laksana Registrasi Obat.
Undang-undang Paten
Di dalam Undang-undang No.13
tahun 2016 pasal 167 disebutkan bahwa untuk produksi produk farmasi yang
dilindungi paten di Indonesia dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sebelum
berakhirnya perlindungan paten dengan tujuan untuk proses perizinan kemudian
melakukan pemasaran setelah perlindungan paten berakhir dikecualikan dari
ketentuan pidana yang diatur dalam undang-undang tersebut. Pengecualian ini
dimaksudkan untuk menjamin tersedianya produk farmasi (obat generik) oleh pihak
lain setelah berakhirnya masa perlindungan paten. Dengan demikian, harga produk
farmasi yang wajar dapat diupayakan. Proses perizinan yang dimaksud pada
ketentuan ini adalah proses pengurusan izin edar dan izin produksi atas suatu
produk farmasi pada instansi terkait.
PMK No. 1010 Tahun 2008
Di dalam Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1010/MENKES/PER/XI/2008 Bagian Keenam
(Registrasi Obay Yang Dilindungi Paten) disebutkan bahwa registrasi obat dengan
zat berkhasiat yang dilindungi paten di Indonesia hanya dilakukan oleh industri
farmasi dalam negeri pemegang hak paten, atau industri farmasi lain yang
ditunjuk oleh pemegang hak paten yang dibuktikan dengan sertifikat paten.
Registrasi obat dengan zat berkhasiat yang dilindungi paten di Indonesia dapat
dilakukan oleh industri dalam negeri bukan pemegang hak paten dapat mulai
diajukan 2 tahun sebelum berakhirnya perlindungan paten dan hanya boleh
diedarkan setelah habis masa perlindungan paten obat inovator.
PerKaBPOM No. 24 Tahun 2017
Di dalam peraturan yang sering
disebut sebagai buku cokelat (bucok) ini registrasi obat yang dilindungi paten
terdapat dalam bagian kesembilan. Pada pasal 20 disebutkan bahwa registrasi obat
dengan zat aktif yang dilindungi paten di Indonesia hanya dapat dilakukan oleh
pendaftar pemilik hak paten (dibuktikan dengan sertifikat paten) atau pendaftar
yang ditunjuk oleh pemilik hak paten. Registrasi obat generik pertama (obat copy
pertama) dengan zat aktif yang masih dilindungi paten di Indonesia dapat
diajukan oleh pendaftar yang bukan pemilik hak paten 5 tahun sebelum berakhirnya
perlindungan paten dan izin edar akan diterbitkan setelah habis masa
perlindungan paten
Kesimpulan
Berdasarkan uraian tersebut dapat
disimpulkan secara sederhana bahwa Bolar Provision atau Provisi Bolar adalah
ketentuan yang memperbolehkan industri farmasi untuk memproduksi obat yang
masih dalam perlindungan paten hanya untuk kepentingan pengembangan dan
registrasi namun pemasaran obat tersebut hanya boleh dilakukan setelah masa
perlindungan patennya habis. Di Indonesia sendiri setidaknya terdapat tiga
peraturan yang mengatur tentang masalah ini yaitu Undang-undang No. 13 Tahun
2016 tentang Paten, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1010/MENKES/PER/XI/2008 tentang Registrasi Obat dan Peraturan Kepala Badan
Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2017 tentang
Kriteria dan Tata Laksana Registrasi Obat. Ketiga peraturan tersebut memiliki ketentuan
yang serupa mengenai diperbolehkannya untuk mengembangkan dan meregistrasikan
obat yang masih dalam perlindungan paten asalkan pemasaran dilakukan setelah perlindungan
berakhir. Namun terdapat perbedaan mengenai kapan registrasi dapat dilakukan,
pada Undang-undang paten dan PerKaBPOM disebutkan 5 tahun sebelum perlindungan
paten berakhir, sedangkan pada Permenkes adalah 2 tahun. Terkait hal tersebut,
di Indonesia menganut asas lex superior derogat legi inferior atau hukum
yang lebih tinggi mengesampingkan hukum yang lebih rendah, sehingga dapat
digunakan aturan 5 tahun sesuai Undang-undang paten, karena Undang-undang
hukumnya lebih tinggi dari pada Permenkes.
Referensi:
https://law.justia.com/cases/federal/appellate-courts/F2/733/858/459501/
https://www.wipo.int/wipo_magazine/en/2014/03/article_0004.html
https://en.wikipedia.org/wiki/Roche_Products,_Inc._v._Bolar_Pharmaceutical_Co.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016
tentang Paten
Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 1010/MENKES/PER/XI/2008 tentang Registrasi Obat
Peraturan Kepala Badan Pengawas
Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2017 tentang Kriteria dan
Tata Laksana Registrasi Obat
Post a Comment