Alkohol Dalam Obat, Halal Atau Haram?


Sebagai seorang apoteker tentu kita sangat familiar dengan alkohol baik ketika kuliah maupun saat bekerja. Mulai dari praktikum terkait bahan alam, alkohol sering digunakan sebagai pelarut untuk proses ekstraksi. Praktikum farmakologi juga banyak menggunakan alkohol terutama untuk antiseptik saat membedah tikus. Apalagi dalam praktikum kimia farmasi, kita sering menggunakan alkohol baik sebagai pelarut maupun bahan untuk sintesis obat. Begitu dekatnya dunia farmasi dengan alkohol, lalu bagaimana hukumnya? Halal atau haram?

Alkohol merupakan senyawa turunan alkana yang memiliki gugus fungsi hidroksi (-OH). Rumus umum senyawa alkohol tersebut adalah R-OH atau Ar-OH di mana R adalah gugus alkil dan Ar adalah gugus aril. Di masyarakat ketika kita menyebutkan alkohol maka yang dimaksud adalah ethanol. Dalam dunia farmasi alkohol digunakan untuk pembersihan dan sterilisasi. Alkohol merupakan pelarut yang baik untuk membersihkan permukaan alat dari sisa-sisa kotoran bahan. Selain itu alkohol juga memiliki daya antiseptik sehingga membersihkan dengan alkohol dapat menghilangkan cemaran kimia, fisika, dan biologi sekaligus.

Selain untuk pembersihan alat, alkohol juga dapat digunakan sebagai pelarut obat-obatan, seperti sediaan cair, tablet, dan ekstrak bahan alam. Sifat fisikokimia alkohol menyebabkan alkohol mampu melarutkan banyak zat, terutama bahan obat yang umumnya lebih bersifat non-polar.

Apakah alkohol dilarang dalam Islam?

Dalam ajaran agama Islam disebutkan bahwa khamr (minuman keras) dan setiap yang memabukkan adalah haram dan umat Islam diperintahkan untuk menjauhinya. Lalu bagaimana dengan alkohol? Apakah alkohol dan khamr sama?

Pada dasarnya, alkohol itu merupakan zat yang suci, kecuali kalau diproses menjadi unsur dalam minuman keras, dan kalau telah menjadi minuman keras, berarti haram dan najis. Seperti pada tulisan saya mengenai bahan halal disebutkan bahwa alkohol yang bukan berasal dari industri khamr dapat digunakan. Sedangkan alkohol dari industri khamr dihukumi haram dan najis. Alkohol yang berasal dari fermentasi singkong, jagung, molases, beet root, dan sintetik (petrokimia) dapat digunakan. Alkohol dapat digunakan sebagai pelarut atau bahan sanitasi. Produk cair hasil samping industri khamr yang diperoleh dari hasil pemisahan fisik tidak boleh digunakan, namun apabila berasal dari pemisahan kimia (dengan reaksi kimia) dan proses biotransformasi dengan enzim atau mikroba boleh digunakan. Untuk produk padat yang berasal dari hasil samping industri khamr (seperti ragi dari industri bir) dapat digunakan setelah dilakukan pencucian dengan air hingga hilang bau dan warna khamrnya. Jadi alkohol dan khamr tidak dapat disamakan. Karena, tidak semua alkohol itu merupakan khamr, tetapi semua khamr pasti mengandung alkohol.

Lalu bagaimana hukum obat yang mengandung alkohol?

Pada tulisan saya tentang Kriteria Produk Halal disebutkan bahwa kadar alkohol yang diperbolehkan dalam produk akhir minuman adalah kurang dari 0,5%. Produk selain minuman (ready to drink) tidak terdapat pembatasan selama secara medis tidak membahayakan kesehatan seperti dalam jamu, kosmetik, dan obat. Namun alkohol yang digunakan tidak berasal dari industri khamr.

Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa penggunaan alkohol dalam obat diperbolehkan asal alkohol yang digunakan tidak berasal dari industri khamr dan secara medis tidak membahayakan kesehatan. Pengawasan dan penilaian obat oleh BPOM dilakukan sangat ketat, sehingga obat yang telah mendapat izin edar dari BPOM dapat dipastikan keamanannya. Industri farmasi pun sudah bergerak ke arah produk halal di mana salah satu persyaratannya adalah menjamin bahan yang digunakan adalah bahan halal.

 

Referensi

https://farmasiindustri.com/

http://www.halalmui.org/mui14/main/detail/hukum-alkohol

Post a Comment