Indonesia merupakan negara dengan populasi penduduk beragama Islam terbesar di dunia dan halal menjadi isu yang sangat sensitif di Indonesia. Tentu kita pernah mengetahui kasus salah satu produk suplemen kesehatan yang terdeteksi mengandung DNA babi dan mengakibatkan harus dilakukan penarikan produk. Hal ini tentu sangat dihindari oleh produsen karena selain membutuhkan biaya untuk proses penarikan produk, kasus tersebut juga berpengaruh pada tingkat kepercayaan konsumen. Oleh karena itu sistem jaminan halal menjadi hal yang penting untuk diterapkan di perusahaan.
Hukum asal benda adalah mubah (diperbolehkan) selama tidak ada dalil yang mengharamkannya, hal ini menjadi dasar dalam proses sertifikasi halal. Halal ialah sesuatu yang diperbolehkan menurut ketentuan Syariat Islam. Segala sesuatu adalah halal kecuali terdapat larangan dalam Qur’an dan Hadits. Kehalalan benda tersebut akan lebih sempurna bila dikombinasikan dengan thayyib yaitu sesuatu yang aman, baik, suci dan tidak berbahaya bagi kesehatan, sehingga kita sering mendengar istilah “halalan thayyiban”. Hal ini sejalan juga dengan prinsip penjaminan mutu obat di mana obat harus aman, berkhasiat, dan berkualitas sebelum diedarkan.
Berdasarkan Al-Qur’an, yang temasuk kategori haram adalah babi, bangkai, darah, binatang yang disembelih dengan tidak menyebut nama Allah serta khamr. Dalam Hadits disebutkan pula hewan yang buas atau bertaring, hewan yang menjijikkan, dan hewan yang hidup di dua alam termasuk dalam kategori haram. Sedangkan untuk semua hewan yang berasal dari laut atau hidup di air adalah halal meskipun tidak disembelih. Berdasarkan Fatwa MUI, bagian tubuh manusia juga merupakan kategori haram untuk dikonsumsi.
Untuk membuat produk halal produk tersebut harus diproduksi dari bahan yang halal di fasilitas yang tidak terkontaminasi bahan haram atau najis dan produk yang dihasilkan bukan produk yang haram, misalnya wine. Benda yang terkena najis (mutanajis) hukumnya haram sampai disucikan kembali. Najis sendiri terbagi menjadi 3 jenis, yaitu najis ringan, najis sedang, dan najis berat yang memiliki persyaratan sendiri-sendiri untuk mensucikannya. Najis yang mungkin terjadi di fasilitas produksi biasanya adalah najis sedang (seperti kontaminasi bangkai, darah, khamr, dan kotoran hewan) dan najis berat (air liur anjing, babi dan turunannya), sedangkan najis ringan yaitu karena kontaminasi air kencing bayi laki-laki yang hanya minum ASI sangat kecil kemungkinannya terjadi di fasilitas produksi. Najis berat dapat disucikan dengan dibasuk sebanyak tujuh kali dengan air yang salah satunya dicampur dengan tanah atau dapat juga dengan bahan pembersih kimia yang halal. Najis sedangkan dapat disucikan dengan dicuci hingga hilang warna, bau dan rasa najisnya, namun apabila warna dan baunya sudah hilang dapat dianggap suci tanpa harus mengetahui rasanya hilang atau tidak. Najis ringan dapat disucikan dengan diperciki air atau dilap dengan lap basah.
Pada dasarnya, halal dan haram adalah sesuatu yang jelas, namun seiring dengan perkembangan zaman dan teknologi, proses produksi barang menjadikan status kehalalan produk sulit untuk diidentifikasi secara langsung oleh konsumen, oleh karena itu diperlukan fatwa halal melalui proses sertifikasi halal. Saat ini setelah terbitnya UU JPH (Undang-undang Jaminan Produk Halal), sertifikat halal diterbitkan oleh BPJPH (Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal) berdasarkan ketetapan halal MUI setelah dilakukan audit oleh LPH (Lembaga Pemeriksa Halal) yang salah satunya adalah LPPOM MUI (Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia).
Berdasarkan HAS 23000, persyaratan sertifikasi halal adalah harus menerapkan sebelas kriteria Sistem Jaminan Halal (HAS 23000:1) serta memenuhi kebijakan dan prosedur sertifikasi halal (HAS 23000:2). Sebelas kriteria Sistem Jaminan Halal tersebut adalah:
- Kebijakan Halal
- Tim Manajemen Halal
- Pelatihan
- Bahan
- Produk
- Fasilitas Produksi
- Prosedur Tertulis Aktivitas Kritis
- Kemampuan Telusur
- Penanganan Produk Tidak Memenuhi Kriteria
- Audit Internal
- Kaji Ulang Manajemen
Berdasarkan Undang-undang Jaminan Produk Halal disebutkan bahwa pelaku usaha yang mengajukan Sertifikasi Halal wajib memiliki penyelia halal. Penyelia halal adalah orang yang ditunjuk oleh perusahaan dan bertanggung jawab pada proses produksi halal dan merupakan bagian dari tim manajemen halal. Berdasarkan UU JPH tugas penyelia halal adalah mengawasi proses produksi halal di perusahaan, menentukan tindakan perbaikan dan pencegahan, mengkoordinasikan proses produksi halal, serta mendampingi auditor halal pada saat audit. Penyelia halal tersebut harus beragama Islam dan memiliki wawasan luas serta memahami syariat tentang kehalalan sehingga diperlukan suatu standar kompetensi. Standar kompetensi tersebut tertuang dalam Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) No. 215/2016 yang merupakan standar kompetensi bidang penjaminan produk halal yang mengatur tentang kriteria standar kompetensi kerja penyelia halal yang diharapkan mampu menjamin produk yang dihasilkan halal secara konsisten dan berkesinambungan serta mampu mencegah kasus yang merugikan perusahaan terkait status kehalalalan produk. Pemetaan kompetensi SKKNI meliputi tiga fungsi kunci di mana masing-masing fungsi kunci tersebut memiliki unit kerja sehingga total terdapat tiga belas unit kerja. Fungsi kunci tersebut ialah: (i) merencanakan penerapan Sistem Jaminan Halal; (ii) menerapkan Sistem Jaminan Halal; (iii) mengevaluasi pelaksanaan Sistem Jaminan Halal. Unit kerja dari ketiga fungsi tersebut adalah sebagai berikut:
- Merencanakan Penerapan Sistem Jaminan Halal, terdiri dari tiga unit kerja:
- Menyusun dokumen Sistem Jaminan Halal
- Memverifikasi dokumen Sistem Jaminan Halal
- Melakukan sosialisasi dokumen Sistem Jaminan Halal
- Menerapkan Sistem Jaminan Halal, terdiri dari delapan unit kerja:
- Menyiapkan dokumen pendukung bahan
- Melakukan seleksi bahan halal
- Melakukan pengadaan bahan halal
- Melakukan penanganan bahan halal
- Melakukan proses produksi halal
- Melakukan penanganan produk halal
- Melakukan penanganan produk yang tidak memenuhi kriteria
- Melakukan pengembangan produk halal
- Mengevaluasi Pelaksanaan Sistem Jaminan Halal, terdiri dari dua unit kerja:
- Melakukan audit internal
- Memantau tindak lanjut hasil audit internal
Secara umum 13 unit kerja tersebut sama dengan sebelas kriteria sistem jaminan halal. Persyaratan untuk dapat mengajukan sertifikasi kompetensi penyelia halal adalah memiliki sertifikat pelatihan sistem jaminan halal HAS 23000 atau berpengalaman sebagai Tim Manajemen Halal di organisasi yang menerapkan SJH dengan minimal pengalaman bekerja selama 2 tahun. Pengalaman saya saat mengikuti uji kompetensi penyelia halal tersebut adalah uji kompetensi dilakukan secara lisan melalui interview dengan assessor mengenai 13 unit kerja tersebut dan tidak boleh ada jawaban yang salah. Sertifikat kompetensi penyelia halal hanya diberikan kepada peserta yang dapat menjawab benar 100% seluruh pertanyaan. Sebelas kriteria tersebut akan saya coba jabarkan pada artikel-artikel selanjutnya agar tidak terlalu panjang dan membosankan. Jadi terus pantengin ya biar ilmunya bisa terinfokan semua, karena biaya pelatihan ini cukup mahal, hehe. Terima kasih dan semoga sehat selalu…
Post a Comment